Friday, February 1, 2013

Cerpen Romantis


First Love Never Dies
Langit malam tampak lebih indah dari biasanya saat bulan purnama yg benderang ada disana. Aku dan Irwan berbaring tenang di atas mobil pick-up milik Irwan yang tengah mencoba untuk menghitung bintang -bintang yg bertaburan. Ia terus mengulangi hitungannya dari awal tiap kali aku menyela, dan ia tampak cukup kesal.
“Irwan, berisik ah! Kamu nggak bakal bisa hitungin bintang sebanyak itu..”
Irwan berhenti menghitung lalu menghela nafas panjang, “Oke… Aku berhenti, tapi kamu harus jawab pertanyaanku dulu!”
“Oke, siapa takut?? Fisika? Kimia? Aku jagonya!”
“Ihh, bukan soal pelajaran tau! Dengar ya.. Apa bedanya bintang kejora dengan mata birumu??”
“Hmm, ya iyalah beda. Itu ‘kan bintang, kalo ini mata..”
“Eits, salah! Jawabannya, kalau bintang kejora itu menerangi banyak orang di bumi tiap malam hari. Nah, kalau mata birumu itu menerangi hidup, jiwa, dan hatiku tiap hari, tiap jam, dan tiap detik”
Aku tertawa, “Rayuan palsuu”
“Ihh, serius! Tau ngga, kalo langit itu seharusnya malu sama aku??”
“Lho, memangnya kenapa?”
“Karena.. Bintang-bintang yang langit punya itu kalah indahnya sama mata biru kamu!”
“Eh, tapi kamu sayang sama aku bukan cuma gara-gara mata biru aku ‘kan??
Irwan menggeleng dgn penuh keyakinan, “Ya jelas bukan. Aku sayangsama kamu itu ya karena diri kamu sendiri, Winda”
Aku dan Irwan sama-sama tersenyum dan suasana pun hening sejenak.
Irwan mengecup keningku dan…
*

BRUK..!!
“Aduh!|
Aku terbangun dan lagi-lagi karena jatuh dari tempat tidur.
Aku pun mencoba untuk berdiri walau sulit karena selimut tebalku melilit tubuhku dan aku harus melepaskannya terlebih dahulu.
Pintu kamar lalu terbuka, “Winda, kamu jatuh dari ranjang lagi?” tanya Mama.
Ya, pintu kamarku memang tak pernah ku kunci agar Mama bisa leluasa keluar masuk kamarku untuk membangunkanku yang walau sudah berumur 23 tahun ini masih saja tidak bisa bangun pagi. Dan untuk lima hari ini, ia tak perlu lagi repot-repot membangunkanku karena sudah lima hari ini aku terjatuh dari tempat tidur tiap pagi dan hal itu membuatku bangun dengan sendirinya.
“Terus saja seperti itu. Jadi Mama tidak perlu membangunkanmu lagi tiap pagi” lanjutnya dengan mimik wajah senang.
Aku cemberut, “Anaknya kesakitan kok malah senang sih, Ma. Lama-lama bisa encok nih!”
“Haha, ada-ada saja. Kamu itu masih muda, belum waktunya encok segala. Mendingan kamu cepat-cepat mandi, deh. Terus antar adikm ke sekolah. Mama mau siapin sarapan buat kalian dulu”
Aku hanya mangut-mangut sambil berjalan santai ke dalam kamar mandi, menyalakan shower dan percikan air hangat pun membasahiku.
Namun, pikiranku kembali tertuju pada mimpiku tadi. Momen itu terjadi enam tahun lalu saat aku dan Irwan merayakan usia hubungan kami yang menginjak 13 bulan lamanya.
Irwan memang selalu memuji mata biruku yang ku punya secara alami sejak lahir ini. Dan mungkin tak hanya Irwan, tapi semua orang pun akan memuji mata biru yg orang Indonesia biasanya tak miliki. Sedangkan aku bisa memilikinya walau tak ada keturunan orang asing atau berdarah campuran dari negara manapun. Tapi, untuk saat ini hal itu tak penting untuk dibahas karena ada yg lebih membuatku reash akhir-akhir ini — Irwan.
Aku terus bertanya-tanya apa maksud dari semua ini. Memimpikan kenangan lamabersama orang yg tidak pernah ku temui lagi enam tahun lamanya dalam lima hari berturut-turut tentu bukan hal yg biasa.Aku bahkan tak pernah sedikitpun mengungkit-ungkit tentang Irwan akhir-akhir in. lalu, ada apa?.
Irwan sesungguhnya adalah cinta pertamaku saat aku masih berumur 14 tahun dan masih tinggal di kota Malang. Dan tepat ketika aku berumur 17 tahun, aku pergi meninggalkannya ke Jakarta dengan alasan untuk berkuliah disana sekaligus karena Papaku yang merupakan seorang pelatih sepakbola direkrut oleh salah satu klub sepakbola di Jakarta. Kisah kasihku dengannya pun secara otomatis berakhir begitu saja tanpa banyak kata terungkap dari bibirku seiring aku tak pernah menghubunginya lagi.
Terdengar begitu singkat memang, tapi rasanya akan terlalu panjang jika aku harus menjelaskannya secara mendetail. Dan kini momen-momen manis bersama Irwan itu merasuk ke dalam mimpi-mimpiku dimalam hari seakan menghantuiku dan tak rela untuk dilupakan.
“Windaa..!!” suara Mama menggelegar dari ruang makan.
Aku yang baru saja selesai berpakaian sambil terus memikirkan mimpi-mimpi itu segera menghampirinya dalam waktu kurang dari 1 menit dan tanpa ragu aku pun mencomot omelet ayam yang tersaji di atas meja makan.
Sabdra, adikku, yang tampaknya baru selesai sarapan dengan menu sereal kesukaanna menatapku dengan wajah bingung.
“Kaka hari ini nggak kuliah?”
Aku menggeleng, “Ada pekerjaan, hehehe. Hari ini kakak dapat panggilan untuk menyanyi di 2 acara pernikahan. Nah, nanti malam, kakak juga harus nyanyi di kafe kayak biasa. Gimana? Jadwal kakak full banget kayak selebriti ‘kan? Sampe-sampe ga sempat kuliah”
Mama tiba-tiba mencubit pipiku, ‘Jangan mentang-mentang karena kamu sudah S1 dan punya pekerjaan, kamu jadi malas nyelesein S2 kamu, ya!”
Aku meringis kesakitan sambil senyum-senyum, “Yayaya, aku ngerti. Bawel ah, aku mau manasin mobil dulu. San, kamu kalau sudah siap langsung ke depan yaa!”
Sandra hanya mengangguk pelan dan aku berlari-lari kecil keluar menghampiri mobilku yang terparkir di halaman rumah.
Tiba-tiba saja handphone-ku berdering saat aku mulai memanaskan mobil. Dan, oh, panggilan dari Papaku.
“Hai, Pa”
“Winda, kamu bisa datang ke tempat Papa ngelatih bola?”
“Hah? Buat apa?”
“Datang aja. Lagipula kamu juga ga ada kerjaan ‘kan jam segini?”
“Iya sih, tapi aku mau antar Sandra ke sekolah dulu ya, Pa?”
“Oke, Papa tunggu” Papa mengakhiri pembicaraan.
Sandra datang menghampiriku, “Itu tdi tekpon dari Papa, ya?”
“Yap. Memangnya kenapa?”
“Papa bilang apa kak?”
“Cuma nyuruh kakak datang ke tempat Papa ngelatih bola”
“Ohh, aku boleh titip pesan buat Papa nggak??”
“Boleh dong, apa pesannya?”
“Belikan aku boneka Barbie yang baru soalnya yang lama sudah rusak”
Aku mengacak-acak poni adik perempuanku satu-satunya yang baru berumur 7 tahun itu,  “Pasti kakak sampaikan, kok. Tapiiii… Sekarang kamu harus masuk mobil dalam hitungan ketiga dan kita akan berangkat! Satuu.. Dua.. Tiga..!!”
Sandra pun sudah duduk manis didalam mobil.
Alu memasang sabuk pengaman dan.. Brrmm! Mobilku melaju ke sekolah Sandra.
“Kakak nanti jemput aku atau nggak?”
Aku berpikir sejenak, “Kakak nggak bisa pastikan sekarang. Nanti kamu telpon kakak aja”
“Memangnya kakak sibuk, ya?”
“Ya begitulah..”
“Lebih sibuk mana, penyanyi atau dokter??”
Aku mengernyitkan dhi, “Pertanyaanmu kok aneh begitu?”
“Aku punya teman yang namanya sama dengan kakak..”
“Ohh ya? Namanya Winda juga?”
Sandra mengangguk, “Kakaknya Winda itu dokter. Dokter ‘kan punya banyak pasien, tapi kok kakaknya Winda selalu bisa antar jemput Winda kemanapun dia pergi. Sedangkan aku, kakakku penyanyi, itupun bukan penyanyi terkenal. Tapi kakak jarang sekali bisa antar jemput aku” ujar Sandra panjang lebar.
Aku terdiam sebentar, sebeleum akhirnya menemukan sesuatu untuk dikatakan, “Kamu tahu? Kamu beruntung  masih punya kakak yang bisa antar jemput kamu, walau jarang. Kalau dulu, kakak nggak pernah tuh, diantar jemput siapapun. Sampai akhirnyaa…” aku tiba-tiba menghentikan pembicaraanku.
“Sampai akhirnya apa kak??”
Tak terasa kami sudah sampai di depan sekolah Sandra, aku menghela nafas lega, “Lupakan deh, mulai sekarang kakak akan coba untuk terus antar jemput kamu dan sekarang mendingan kamu turun, masuk ke kelas, terus belajar yang rajin. Oke??”
Sandra pun segera turun dari mobil tanpa banyak omong.
Aku menyandarkan tubuhku dikursi moil dan memejamkan mata untuk sesaat, melanjutkan kata-kataku yang belum selesai, “Sampai akhirnya aku bertemu Irwan dan ia pun dengan tuklus mengantar jemputku kemanapun aku mau.. Ya Tuhan, enam tahun sudah berlalu dan aku hampir berhasil melupakannya tapi …” kalimatku  terhenti lagi.
Mobil itu. Ya, mobil pick-up yg berhenti didepanku saat ini persisi seperti mobil pick-up milik Irwan. Berwarna merah, dengan plat.. Hei, aku jadi ingin tahu plat mobil pick-up di depanku ini… I 12 WAN?!!
Tidak salah lagi, ini mobil Irwan!.
Aku segera menyalakan mesin mobilku seiring mbil picl-up itu mulai berjalan menjauh.
Aku harus mengejarnya, gumamku.
Pikiranku melayang, mengingat salah satu hari terindah dalam hidupk, sementara mataku tetap terfokus mengikuti arah kemana mobil pick-up itu pergi…
*
Bukannya berhenti, hujan justru menjadi makin deras. sesekali terdengar suara petir menyambar disana-sini, kedeipan kilat pun jadi bagaikan lampu disko yg menambah gundah hatiku.
Jam tanganku menunjukkan jam 6 sore. Langit pun makin lama jadi makin gelap tertutup awan hitam yg menakut-nakutiku, seakan mentaru telah lenyap dari alam semesta. Aku belum beranjak dari halte depan sekolahku sejak tiga jam yang lalu hujan mulai turun dan hingga kini tak kunjung berhenti. Dan angkutan umum yg ku  tunggu sedari tadi tampaknya juga tak kunjung datang.
Telepon genggamku tertinggal di rumah dan menambah rumit suasana. Andai saja aku tak lupa membawanya, mungkin saat ini seseorang telah menjemputku. Dan ku jamin, saat ini Mamapasti sedang cemas bukan main. Sayang, Mama tak bisa mengendari mobil, sementara Papa sedang berada di luar kota membimbing klub sepakbola asuhannya bertanding. Tapi, apa daya aku bahkan tak rela hujan-hujanan untuk menghampiri telepon umum yg ada di seberang sana.
Menit demi menit berlalu, mataku terpejam karena kelelahan. Tampaknya malam  ini aku harus tidur disini, pikirku.
Tiba-tiba sesuatu yang tebal menutupi badanku. Aku membuka mataku dan.. “Irwan? Kamu…” jari telunjuk Irwan langsung berada tepat didepan bibirku, ‘Sst..”
Aku memeluk badannya yg basah kuyup karena kehujanan begitu erat, “Kamu naik motor hujan-hujanan?  Mana mobil kamu?”
Irwan mengangguk, “Mobilku ‘kan sedang di bengkel”
“Tapi kok jaket ini kering?” aku memegang jaket yg td iapakaikan padaku saat aku hampir terlelap.
“Aku taruh jaket itu di bagasi motorku, aku tahu pasti kamu lagi kedinginan, makanya aku bawa jaket itu, walau sebenarnya aku juga perlu. Tapi kalo buat kamu, apa sih yg nggak? Hehehe”
Aku tercengang memandangi Irwan. Di saat seperti ini saja ia masih bisa tertawa untukku, “Darimana kamu tahu aku disini? Bukannya kamu baru pulang dari Bandung?”
“Iya, aku sampai di Malang jam 3 sore tadi. Aku istirahat sebentar dan telpon kamu. Tapi kok nggak diangkat?”
“Handphoneku ketinggalan di rumah..”
“Ohh, pantas. Tadi, aku bingung kenapa kamu nggak angkat, jadi aku langsung ke rumah kamu, soalnya aku juga mau nganterin oleh-oleh yg aku bawa dari Bandung. Sampai disana, Mama kamu bilang kamu belum pulang. Aku tungguin deh disana, tapi makin lama hujan makin deras, kamu nggak pulang-pulang juga. Aku jadi khawatir, aku cari kamu ke semua rumah temen-temen kamu, tapi nggak ada. Sampai akhirnya aku nemuin kamu disini. Aku lega banget Win, aku takut kamu kenapa-kenapa” ia mendekapku, aku bisa merasakan rasa kekhawatirannya dari tatapan dan cara ia bicara. Namun aku masih terus memikirkan bagaimana ia melakukan semua yg dilakukannya itu dgn berhujan-hujanan.
“Kamu selama sejam penuh nyariin aku, Wan??”
“Iya. Lihat deh, aku gemetaran begini. Dingin banget.. Kita langsung pulang aja deh, ya”
Irwan tersenyum sambil terus menggigil kedinginan. Ia pun naik ke motor.
“Eh, ngomong-ngomong oleh-oleh buatku mana??” tanyaku.
Raut wajah Irwan langsung berubah menjadi serius, ia nampak kebingungan dan terus berpikir keras, hingga ia menepuk dahinya, “Astaga! Ketinggalan di rumah temenmu itu, si Sinta! Aduh, ya udah sekarang aku antar kamu pulang dulu, ya, terus aku ambil oleh-olehnya”
Aku geleng-geleng kepala, menahan tawa. Bagaimanapun, ia selalu bisa membuat keadaan serumit apapun menjadi begitu menyenangkan..
*
Tanpa ku sadari air mataku mengalir begitu deras, mengenang kenangan itu. Aku menyadari betapa bodohnya aku saat pergi meninggalkannya begitu saja, tanpa sepatah kata pun yang terucap. Aku juga sadar, saat itu cinta yg ia miliki benar-benar tulus untukku, dan apa balasannya? Aku pergi dan membiarkannya mencari-cariku yg tanpa ia ketahui telah berlalu ke Jakarta. Dan kini hukum karma tampaknya tengah ku terima.
Aku mengusap air mataku sambil terus memandangi mobil pick-up merah yg aku harap ada Irwan didalamnya itu dan.. Hei, mobil itu berhenti di tempat tujuanku. Ya, itu tempat Papa melatih sepakbola bersama klub asuhannya.
Pintu mobil pun terbuka, jantungku berdegup kencang namun.. Papa! Argh, ia muncul dan menghadang mobilku. Mau tak mau, aku pun harus keluar dari mobil dan menghampirinya.
“Halo, Pa!” sapaku.
“Hei, kamu tadi kelihatannya tidak berniat berhenti disini. Bukannya Papa tadi minta kamu untuk nemuin Papa, ya?”
Papa lalu memerhatikanku dari ujung kaki sampai kepala dgn penuh curiga, “Mobil pick-up merah yg barusan pergi itu??”
Aku tak mersepon, hatiku benar-benar ingin mengejar mobil itu, namun tak mungkin.
“Mobil seperti itu tak hanya satu di dunia ini, Winda” lanjut Papa. Ia tahu pasti betapa aku merindukan Irwan, karena ia pun tahu, sejak pergi dari Irwan, aku tak pernah lagi menjalin hubungan dengan lelaki manapun.
“Tapi, Pa..”
“Sudahlah. Papa mau kamu relakan Irwan, lupakan dia. Ayo, sekarang kamu ikut Papa”
Aku pun dengan kepala tertunduk mengikuti Papa ke lapangan sementara para pemain tengah sibuk pemanasan.
“Papa ingin kamu jadi asisten pelatih”
Aku mengernyitkan dahi, “Secepat ini?”
“Kamu sudah sangat mengerti dan menyukai sepakbola ‘kan? Papa yakin kamu bisa. Dan untuk beberapa hari ini, Papa akan mengajarkan kamu bagaimana caranya menjadi seorang pelatih sebelum kamu benar-benar jadi asisten Papa. Dan dengan satu syarat, kamu nggak boleh kasih tahu Mama”
Aku hanya bisa mengangguk, sejujurnya aku memang suka dgn pekerjaan ini, lagipula aku tak punya alasan untuk menolaknya.
“Ayo, Papa mau kenalkan kamu ke semua pemain”
Aku menggaruk-garuk kepalaku yg sebenarnya sama sekali tak gatal, kebingungan, Ada sedikit perasaan nervous didalam dada. Papa lalu memanggil para pemain untuk berkumpul sejenak.
“Selamat pagi semua”
“Pagiiiiiiii” sahut mereka.
“Mulai hari ini, kita akan punya asisten pelatih baru, atau lebih tepatnya calon asisten pelatih, yang mana merupakan anak saya sendiri. Karena untuk sementara waktu, saya kira dia akan perlu menyesuakan diri terlebih dahulu”
Papa lalu mempersilakan aku untuk mengenalkan diri, ah, ini hal yg paling tidak aku sukai.
“Halo semua, nama saya Winda Carolina. Calon asisten pelatih kalian. Mohon bantuannya, ya” kataku singkat.
“Oke, ada pertanyaan? Kalau tidak ada, kita akan mulai latihan”, Papa lalu mempersilakan seorang pemain yg menangkat tangannya untuk bertanya. Cih, seperti anak SD saja harus angkat tangan, bisikku dalam hati.
“Coach Winda, sudah punya pacar belum??”, mendengar lelucon itu, sontak saja seluruh pemain tertawa, bahkan Papa pun juga ikut tertawa. Aku hanya tersenyum tersipu, namun bukan karena pertanyaan itu, melainkan karena ia telah memanggilku ‘Coach Winda’ yang membuatku merasa bagai melayang diudara.
“Oke, saya kira kita bisa mulai latihan sekarang”
Para pemain lalu mulai mengikuti tiap-tiap instruksi dari Papa sementara aku terus memikirkan bagaimana caranya, bagaimana caranya untuk menemukan Irwan..
*
Aku meniup api diatas enam belas lilin kecil yg menghiasi kue ulangtahunku. Teman-temanku bersorak, bertepuk tangan dan menyanyikan lagu selamat ulangtahun tanpa henti. Papa dan Mama yg berada disebelah kanan dan kiriku mengecup kepalaku secara bergantian. Tapi aku tak menampakkan ekspresi senang, karena sejauh mata memandang, aku tak melihat Irwan datang ke pesta. Padahal, tadi pagi ia menelponku dan berjanji akan datang jauh sebelum pesta ulangtahunku dimulai.
“Jo, Irwan mana?” aku menghampiri Johan, sahabat dekat Irwan.
Namun Johan hanya mengangkat kedua bahunya, mengisyaratkan bahwa ia tidak tahu sambil terus melahap sepotong kue ulang tahun yg baru saja dipotong dan dibagikan.
Aku keluar dari ruangan, meninggalkan teman-temanku yg tampaknya akan tetap bisa bersenang-senang walau tanpa aku. Bukannya aku marah, hanya saja aku masih menanti-nanti Irwan yg entah kemana.
Aku memandangi layar handphone, berkali-kali sudah aku mengirimkan pesan singkat, berkali-kali pula aku mencoba untuk menelpon Irwean, namun tak ada respon atau jawaban.
Hatiku rasanya ingin menjerit. Perasaan marah, bingung, sedih, cemas dan kecewa bercampur aduk membuat resah.
Aku akhirnya membalikkan badan dan berniat kembali masuk ke dalam rumahku, bergabung dgn teman-temanku yg berpesta..
“Windaaaa!!!”
Aku menghentikan langkah. Aku kenal suara itu dan.. benar saja. Aku menoleh dan melihat Irwan keluar dari sebuah mobil mewah dibopong oleh seorang bapak-bapak yg tampak seperti seorang pejabat kaya.
Aku melirik lutut kaki kira Irwan yg ia tekuk dan penuh dgn luka, ia hanya berjalan dgn satu kaki & itupun dibantu oleh orang yg tak aku kenal itu.
Aku segera menghampirinya, siku kedua tangan Irwan pun ternyata penuh luka dan ada sedikit luka memar dipipi kanannya. Aku tak tahu apa yg barusan terjadi, namun Irwan tampak baru saja mengalami kecelakaan motor. Mobil pick-up yg biasa digunakannya memang masih berada di bengkel.
“Kamu kenapa??” tanyaku.
Irwan justru merespon wajah cemasku dgn senyuman lebar yg indah, ia lalu menyodorkan setangkai bunga mawar dan sebuah boneka beruang coklat besar padaku, “Maaf aku terlambat, aku juga nggak bisa lama-lama. Satu hal yg perlu kamu tahu, aku sayang sm kamu. Aku td ditabrak lari sama mobil, untung banyak warga yg mau nyelametin aku dan akhirnya ada orang baik seperti Pak Ahmad yg bersedia nolong aku. Dia tadinya mau langsung anterin aku ke rumah sakit, tapi aku minta dia utk nganterin aku kesini dulu untuk kasih kado buat kamu. Aku minta maaf ya, dihari ulangtahun kamu aku nggak bisa nemenin kamu karena hali ini. Tapi aku yakin kamu bisa ngerti. Kamu tau ‘kan gimana rasanya ditabrak mobil, hehehe. Selamat ulang tahyn, Wina. Sekarang aku harus ke rumah sakit, sekali lagi aku minta maf” Irwan lalu mengecup keningku. Aku tak tahu apa yg harus ku katakan selain berterima kasih pada Pak Ahmad yg mau menolong kekasihku yg terluka ini. Ia lalu tersenyum sesaat kepadaku dan kembali membopong Irwan masuk ke dalam mobil.
Aku memandanginya, Irwan terlihat melambaikan tangannya padaku dari dalam mobil, membuatku menitikkan air mata haru. Ia sudah mau repot-repot menyampaikan kado untukku walau dalam keadaan terluka parah seperti itu, dan aku yakin hal itu sebenarnya tidak mudah. Irwan punsama sekali tak menunjukkan mimk kesakitan ataupun kesusahan, ia bahkan masih sempat tertawa.
Aku memluk erat boneka beruang coklat besar yg lembut itu, bnga mawar ygia berikan pun ku dekatkan ke hidungku untu untuk menghirup wangi ketulusan cinta Irwan.
Hari ini akan menjadi hari ulang tahun terindah yg akan ku ingat untuk selamanya. Selamanya.
*
Mataku terbuka secara tiba-tiba. Kali ini, aku bangun dgn sendirinya tanpa perlu jatuh dari ranjang. Namun, lagi-lagi aku memimpikan salah satu momen terbaik yg menjadi kenangan terbaik pula.
Aku segera mengambil kursi dan menarhnya dekat lemari, aku naik ke atas kursi itu dan mengambil kotak besar yg ada diatas lemari penuh perjuangan.
Kptak besar itu kutaruh diatas tempat tidur.
Didalamnya, masih tersimpan dengan apik semua yg perna Irwan berikan untuku, ternasuk boneka beruang coklat besar yg kini warnanya sudah pudar itu. Namun, setangkai bunga mawar yg pernah ia berikan sudah taka ada lagi karena layu seiring berjalannya waktu.
Aku kembali memeluk erat boneka itu dan mengingat pertama kali aku memeluknya, aku belum pernah melupakan hari itu.
“Irwan..” bisikku, seakan berharap ia yg tak ku ketahui keberadaannya dapat mendengar isak tangisku yg mulai pecah.
Aku masih ingat, keesokan harinya setelah hari ulangtahunku, aku menjenguk Irwan yg akhirnya harus dirawat inap. Ia meyakikanku bahwa ia tak apa-aopa, dan hanya sedikit terkilir.
Namun, ia memang selalu berbohong demi kebaikan. Karena saat aku menanyakan apa yg terjadi pd Irwan dgn dokter, dokter justru memberitahuku bahwa tulang kaki kiri Irwan telah patah disebabkan kecelakaan itu.Senyumanku dirusak oleh kesedihan, aku masih sangat terpukul tiap kali mengingatnya, membayangkan betapa ia menahan sakitnya patah tulang demi menjaga perasaanku dan membuatku tersenyum. Padahal aku sendiri tahu, patah tulang itu sakitnya bukan main. Aku sendiri menangis semalaman saat aku mengalami patah tulang waktu kelas 1 smp karena terjatuh dari tangga, sedangkan dia? Raut wajah lesu pun sama sekali tak ada dan ia justru memancarkan sinar kebahgiaan dari kedua bola matanya, meyakinkan bahwa ia tak terluka.
“Winda.. Papa..”
Aku yg terkejut akan kedatangan Papa yg tiba-tiba masuk ke dalam kamarku segera mengusap air mataku. Ia tak boleh melihat boneka beruang ini maupun benda-benda lain yg pernah jd tanda cinta Irwan padaku. Namun terlambat.. raut wajah Papa berubah dalam seketika, aku bisa melihat kemarahan dari sorot matanya, aku pun tak dapat berbuat apa-apa saat ia berusaha merebut boneka kesayanganku,
“Papa, jangan, Paaa..”
“Sudah berapa kali Papa bilang, BUANG SAMPAH INI!!!” Papa membentakku tanpa ampun, aku terus berusaha mempertahankanboneka dan kotak berisi segalanya yg pernah Irwan beri itu, namun apa daya, tenagaku bahkan tak lebih kuat dari Papa yg dengan mudahnya merebut semua itu.
Ia keluar dari kamarku dan mengnci pintunya, tampaknya Papa akan segera membakar barang-barang kesayanganku itu, dan sekeras apapun aku menggedor-gedor pintu kamarku, berteriak mengemis siapapun yg ada diluar untuk membukakan pintu, semua itu sia-sia. Namun aku masih tak peduli, aku terus menjerit, mengeluarkan segalanya yg ada dihatiku, memohon Papa untuk tidak membuang barang-barang kenangan itu, berjam-jam, tanpa ada yg mersepon. Hari demi hari pun berlalu dan masih tak ada jawaban dari luar sana, aku bahkan sudah merasa seperti orang gila, hingga akhirnya suaraku habis dan tak mampu untuk bersuara lagi.
Mataku kelelahan, entah berapa lama aku tak tidur dan menghabiskan waktuku disini untuk menjerit, dan mengamuk seperti orang gila. Aku melihat ke sekelilingku, kamarku tak terlihat seperti sebuah kamar lagi, melainkan lebih mirip layaknya kapal pecah. Segalanya yg terbuat dari kaca telah hancur ku pecahkan, dan aku rasa tak ada orang lagi diluar sana. Entah kemana Papa, Mama, dan Sandra pergi meninggalkanku. Aku tak pernah lagi mendengar suara-suara apapun dari luar sana yg menandakan bahwa ada seseorang yg beraktivitas, suasana begitu hening. Listrik pun tampaknya telah diputus sejak kemarin malam, aku menyadari bahwa AC-ku bahkan tak menyala lagi, dan akhirnya aku pun melewati malam-malamku bersama kegelapan.
Aku menyandarkan tubuhku ke dinding, entah jam berapa saat ini. Jam dinding di kamarku terlanjur aku rusak, aku juga tak bisa melihat jam di handphone-ku yg telah ku banting berkali-kali dan akhirnya rusak. Aku tak bisa menghubungi siapa-siapa, aku tak bahkan terlalu lemah untuk mendobrak pintu dan kabur, karena sudah berhari-hari aku tak makan.
Aku mencoba untuk bernyanyi memecah keheningan, namun lagi-lagi aku gagal. Kemungkinan besar aku sudah bisu, kemungkinan besar pula aku akan mati didalam kamar menyedihkan ini, karena Irwan….
*
Hujan tengah menerpa malam ini tanpa ampun, angin membawa tiap-tiap tetesan air hujan masuk ke teras rumahku dimana aku berdiri. Aku memandangi langit malam yg tanpa bintang, melainkan kilat dan suara petir menyambar dimana-mana. Sweater tebal berwarna merahmarun yg aku kenakan ini bahkan tak benar-benar membuatku terlindung dari dinginnya udara yg menusuk pori-pori.
Papa secara perlahan mengendarai mobil keluar dari garasi, dan menghampiriku yg menantinya di teras rumah sambil terus memeluk boneka beruang coklat besar pemberian Irwan diulangtahunku ke-16 lalu.
Semua koper telah ku masukkan dalam bagasi mobil, dan aku pastikan tak ada yg terlupa selain..
“Kamu sudah beritahu Irwan malam ini kita berangkat?” tanya Papa dari dalam mobil, aku yg masih berdiri linglung di teras rumah tak menjawab. Aku sama sekali tak memberitahu Irwan tentang kepergianku ke Jakarta, bahkan saat tadi sore ia mengajakku ke danau seperti biasa. Aku tak menampilkan wajah seakan akan meninggalkannya, aku tak berani merusak kebahagiaannya, dan menurutku pergi tanpa sepatah kata adalah jalan terbaik. Walau aku tahu, ini pun juga akan menghancurkannya. Namun aku tak cukup kuat untuk menjalin kasih bersamanya secara jarak jauh. Dan aku juga tak mau memutuskan indahnya hubungan yg telah kami jalin 3 tahun lamanya ini.
Jantungku berdegup kencang, aku rasa aku tak siap untuk melakukan hal ini, tapi aku harus…
Telepon genggamku berdering dan.. Irwan menelponku.
“Itu pasti Irwan. Lebih baik kamu angkat” tebak Papa yg masih menungguku didalam mobil.
Walau ragu, akupun akhirnya mengangkatnya juga, namun beranjak menjauh terlebih dahulu dari Papa, aku tak mau Papa tahu bahwa aku dan Irwan belum putus.
“Hai Wan” sapaku.
“Winda, kamu dimana sekarang?”
“Dihatimu sayang, hahaha. Aku ada di rumah. Kenapa?”
“Ohh, syukurlah.. Jangan kemana-mana yaa, malam ini hujannya deras sekali, anginnya juga kencang..”
“Iyaa, Wan”
Irwan terdiam sejenak, “Hmm.. Winda?”
“Iya??”
“Hmm.. Kamu tau rasanya kehilangan ‘kan?”
“Yaa, aku tahu”
“Aku nggak mau ngerasain hal itu. Apalagi kehilangan kamu. Pasti rasanya sakit. Kamu ingat saat janji kita di danau tadi ‘kan? Kamu juga ingat apa yg kita ukir di pohon tadi ‘kan?”
“Iyaa, aku ingat” ucapku dgn perasaan bersalah, terlebih saat mengingat momen tadi sore..
Aku dan Irwan duduk di bawah pohon rindang di tepi danau, ia memeluk pundakku sambil berbicara tentang kisah-kisah cinta abadi yg melegenda di dunia seperti Romeo & Juliet, si cantik dan si buruk rupa, Cinderella dan pangerannya, bahkan kisah cinta di kapal Titanic yg sangat tersohor itu. Aku terus mendengarkannya dgn seksama, dan aku menanyakan apakah kisah aku dan ia akan seperti kisah-kisah cinta abadi seperti yg tadi ia ceritakan. Dan dengan segala keyakinannya, ia menjawab ‘Tentu, because FIRST LOVE NEVER DIES, ya ‘kan? Kamu janji akan jadikan aku cinta pertama dan terakhir??’, aku mengangguk dan kami berdua pun akhirnya mengukir nama kami berdua di pohon dan menuliskan kalimat ‘FIRST LOVE NEVER DIES’ dibawah nama kamu berdua..
“Winda?? Kamu disana??” aku terpecah dari lamunanku saat mendengar suara Irwan.
“Ehh.. Iya, iya. Kenapa?”
“Aku bilang, jangan pernah ingkari janji itu..”
“Iyaa, aku janji..”
Irwan terdiam lagi, ia terdengar menghela nafas panjang, “Dan andai suatu saat nanti.. Kamu pegi ninggalin aku.. Kamu harus ingat satu hal, kalau aku.. sayang sama kamu.. selamanya. Dan apapun akan aku lakukan untuk terus jagain kamu, walau suatu saat nanti aku mungkin akan kehilangan jejak, dan aku mungkin nggak tahu lagi kamu ada dimana, aku akan terus cari kamu. Walau yg tersisa cuma batu nisan kamu..”
Air mataku jatuh mendengarnya, dan KLIK! aku segera mematikan handphone-ku, mengeluarkan SIM Card yg ada didalmnya dan melemparnya jauh-jauh. Aku tak peduli walau harus mengingkari janjiku padanaya, seiring aku masuk ke dalam mobil dan Papa mulai mengendarainya menjauh dari kota Malang yg penuh akan ceritaku bersama Irwan..
Maaf jika aku ingkari janji, FIRST LOVE NEVER DIES..

*

“Nggaaaaaakkkkk…!!!!! Aku nggak ingkar!!”
“Winda, sadar, Winda…!!”
Perlahan-lahan kelopak mataku terbuka, aku berusaha menenangkan diri, menyadari apa yg barusan ku lihat dalam mimpi, sebuah momen saat aku pergi meninggalkan Irwan.. Mataku silau oleh cahaya lampu, entah berapa lama aku terjebak dalam kegelapan kamarku, dan.. Dimana aku sekarang?? Dan suara yg tadi, aku yakin suara itu tak asing lagi bagiku, aku menyadari bahwa ada seseorang duduk ditepi tempat tidur diman aku berbaring sekarang…
“Kamu sudah sadar, Win??”
Aku termenung. Otakku telah menemukan jawaban dari semua pertanyaanku selama ini. Aku tak habis pikir bagaimana carana ia berada disini namun aku tak peduli tentang hal itu karena yg terpenting bagiku saat ini adlah aku berhasil. Aku berhasil bertemu dengannya. Sesuatu yg sedari dulu mengganjal hatiku sejak malam itu terasa mulai sirna seiring aku memerhatikan keindahannya dari ujung kepala sampai ujung kaki. Mata coklatnya yg dulu selalu menatap mata biruku membuat air mata mengaliri pipiku. Ia tersenyum, menunjukkan kebahagiaan yg juga ku balas dgn senyuman, dan tampak tak ada yg berbeda dari senyuman indahnya, sejak pertama kali bertemu hingga kini entah berapa lama aku sudah tak melihatnya.
Dan detik demi detik berlalu ku lewati dengan larut dalam suasana, ia juga mulai menjatuhkan butir-butir air mata seiring aku mulai bangkit dari tempat tidur dan duduk perlahan agar bisa dengan yakin meyakini hatiku bahwa itu benar-benar… Irwan.
Bukan orang lain, dan ini bukan mimpi. Ia mendaratkan jemarinya di tiap helai rambutku, membelaiku penuh sayang.
“Kamu masih ingat aku, Winda?”
“Sekarang katakan padaku kenapa begitu sulit melupakan kamu?” tanyaku lirih.
“Aku bahkan tak tahu kenapa sangat sulit menemukanmu?” ia balik bertanya.
“Maafin aku soal itu, tapi semenjak enam tahun yg lalu, aku masih teguh memegang janji kita”
Raut wajah Irwan berubah, “Enam tahun? Hmm, oke biar aku luruskan..”
“Maksudmu?”
“Maksudku, tiga tahun yg lalu aku yg nggak berhenti nyariin kamu akhirnya nemuin alamat rumah kamu. Aku datang kesana, dengan harapan akan bisa ketemu kamu lagi. Tapi, sesampainya disana, rumah kamu kosong. Tapi aku punya firasat kuat kaalau kamu ada di dalam. Akhrinya aku dobrak semua pintu yg terkunci, dan yg terakhir, pintu kamar kamu.. Aku kaget, aku nemuin kamu terbaring lemah disana, kamu bahkan nggak sadarkan diri. Ada perasaan bahagia, sih, karena berhasil nemuin kamu. Tapi aku sedih karena nemuin kamu dgn keadaan begitu. Aku panggil ambulans, bawa kamu ke rumah sakit. Jadi, kesimpulannya, kamu koma selama tiga tahun ini. Dan aku terus nungguin kamu disini, megang teguh janji kita” cerita Irwan panjang lebar.
Aku tak tahu harus berkata apa, yg jelas aku hampir tak percaya semua itu telah terjadi andai aku tak melihat ke cermin dan menyadari perubahan-perubahan fisikku.
“Irwan..” aku memeluknya erat-erat, berjanji tak akan pernah melepasnya lagi.
“Aku nggak mau kehilangan kamu lagi, kehilangan kamu itu jauh lebih pedih daripada kehilangan dompet tau ngga!” omelnya, dan seperti biasa disaat-saat serius seperti ini pun ia masih bisa membuatku tertawa.
“Memangnya kamu pernah kehilangan dompet?”
“Pernah, tapi ketemu. Ternyata dompetnya ada didalam kulkas”
“Hah?? Hahaha, serius??”
“Iyaa! Oiya, coba kamu lihat ini” Irwan menunjukkan sebuah foto rumah minimalis yg indah.
“Apa ini??” tanyaku kebingungan.
“Rumah itu baru aku beli seminggu yg lalu dari hasil jerih payahku jadi dokter selama ini. Dan kamu tahu?? Ternyata adikmu itu temannya adikku, yg aku kasih nama Winda juga, hehe”
“Rumahmu? Terus ngapain dilihatin ke aku? Oiya, selama tiga tahun aku koma, kemana Papa, Mama, dan Sandra??”
“Aku belum mau bahas kemana mereka bertiga pergi. Yang jelas, rumah yg ada dalam foto itu, akan jadi rumah kita berdua. Karena aku udah janji, suatu saat nanti saat kamu sadar, aku akan langsung nikahin kamu! Dan karena sekarang kamu udah sadar, pernikahan kita akan diadakan se-ce-pat-nya!! Horee..” sorak Irwan.
Sementara aku mengernyitkan dahi, “Menikah? Secepat ini??”
“Cepat katamu? Hei, kamu itu udah 26 tahun sekarang. Aku nggak mau kamu jadi perawan tua dulu, baru aku nikahin. Mendingan sekarang kamu tunggu aku disini soalnya aku mau panggil dokter! Oke??” Irwan berlari keluar, meninggalkan aku yg masih tak percaya akan semua ini. Namun satu hal yg akan selalu ku ingat, bahwa aku tak akan pernah pergi darinya lagi.. Selamanya.

*

Sepuluh tahun telah berlalu sejak hari bertemunya aku dgn Irwan untuk pertama kalinya setelah aku meninggalkannya begitu saja. Sekarang, aku dan Irwan tinggal di Malang, di rumah dalam foto yg pernah ia tunjukkan padaku itu. Dan kami sudah menikah, tepat seminggu setelah aku sadarkan diri dari tidur panjangku, segalanya pun benar-benar berjalan sesuai apa yg selalu ku impikan. Aku berhasil bertemu lagi dgn Papa, Mama, dan Sandra setelah suatu hari aku berkunjung ke rumah Pamanku di Malang. Dan, ada hal lain yg lebih menggembirakan, karena aku sudah punya dua anak kembar lelaki dan perempuan berumur 9 tahun yg aku bernama Irwin dan Wanda, singkatan dari nama aku dan Irwan.
Fiuh.. Aku masih tak percaya bahwa kisah cintaku benar-benar abadi sepert Romeo dan Juliet, si cantik dan si buruk rupa, Cinderella dan pangerannya, bahkan kisah cinta dalam film Titanic itu. =)
First Love Never Dies


~~THE END~~

No comments:

Post a Comment